Selama dua dekade keuangan syariah
semakin melaju ke angka positif, artinya pertumbuhannya bertambah cepat.
Diawali dengan perkembangan perbankan syariah pada tahun 90an, kemudian disusul
oleh beragam pembiayaan syariah. Seiring berjalannya waktu keuangan syariah
kian bertumbuh, sebab peta potensi Indonesia sangat besar. Populasi Muslim
menjadikan produk syariah diminati, baik sistem perbankan atau non perbankan #AwaliDenganKebaikan.
Pegerakan Keuangan Syariah ke Angka Positif
Indonesia memiliki jumlah penduduk
Muslim terbesar di dunia, sehingga membuatnya cukup untuk mengembangkan
syariah. Pemerintah menjadikan keuangan syariah sebagai pioner utama untuk
perkenomian Indonesia. Meskipun pertumbuhan industri finansial syariah sempat
melambat pada tahun 2013-2015, tetapi tidak membuatnya tumbang. Justru semakin
bangkit dengan kehadiran beberapa pembiayaan syariah yang menguntungkan.
Dalam perekembangannya keuangan
syariah di Indonesia lebih fokus kepada perbankan, investasi, dan instrumen
keuangan syariah. Hal ini ditunjukkan dengan kehadiran pembiayaan seperti
asuransi dan sukuk. Beberapa perusahaan asuransi mulai berdiri dan menawarkan
produk dengan basis syariat Islam. Sebenarnya kehadiran asuransi dengan konsep
syariah sudah ada sejak zaman Rasulullah, hanya saja sempat tenggelam sangat
lama.
Kebangkitan keuangan syariah membuat
beberapa instrumen bersuka cita, pasalnya tidak ada unsur riba di dalamnya.
Semua instrumen yang bergerak mengandung prinsip syariat Islam yang tidak perlu
diragukan kehalalannya. OJK merilis data bahwa IKNB Syariah memberikan
kontribusi sebesar 9,61 persen, dengan total nilai 85,48 triliun rupiah.
Artinya masyarakat semakin menyadari bahwa keuangan syariah dibutuhkan, di
tengah perekonomian yang pelik.
Produk Proteksi yang Selalu Ditunggu
Amir adalah seorang dosen yang
mendalami tentang perkembangan Ekonomi Islam. Beliau belajar tentang konsep
syariah, dalam beberapa instrumen keuangan. Memang benar bahwa riba dalam
asuransi konvensional, tidak mendatangkan maslahah dan falah. Bukannya untung
justru membuat nasabah semakin rugi, karena terkadang klaim tidak dicairkan
sesuai kesepakatan. Padahal pembayaran premi sudah dilakukan secara rutin.
Dalam sesi diskusinya Amir
menceritakan sosok adiknya bernama Akbar, dimana Ia berprofesi sebagai dokter.
Akbar tidak pernah mempercayai apa yang selama ini dikatakan oleh sang kakak,
tentang produk asuransi konvensional yang Ia ikuti. Hingga suatu hari klaim
yang diajukan oleh Akbar tidak dicairkan, sebagaimana yang tertulis dalam
polis. Pada saat Ia hendak mencairkan biaya perawatan rumah sakit sang anak,
dan proses klaim sangat lama.
Karena merasa kecewa Akbar menutup
polis asuransi yang Ia miliki, kemudian berdiskusi dengan kakaknya. Amir
menyarankan agar Akbar mengambil produk asuransi syariah jika ingin melakukan
proteksi terhadap keluarganya. Produknya menekankan konsep sharing of risk diamana kerugian ditanggung bersama, dan tidak
membebani salah satu pihak. Selain itu nasabah hanya perlu membayar biaya
kontribusi, sesuai dengan plafon produk yang dipilih.
Jika suatu hari terjadi resiko
kerugian produk asuransi akan membayarkan klaim, dengan jumlah persis seperti
nilai kontribusi. Tidak ada pembagian klaim berapa persen untuk nasabah dan
perusahaan, disini perusahaan asuransi hanya berperan sebagai pengelola dana.
Selain itu Akbar merasakan ketenangan jiwa karena bisa saling menolong antar
nasabah. Tidak ada siapa yang untung dan dirugikan disini karena konsepnya
sangat adil, dan merata.
Perkembangan keuangan syariah turut
menumbuhkan beberapa pembiayaan syariah. Salah satunya kehadiran asuransi syariah Indonesia, berpegang pada prinsip non riba. Produknya membantu
masyarakat untuk alokasikan pendapatan, dengan cara menabung. Jadi tidak ada
istilahnya membuang pendapatan dengan sia-sia, tanpa menghasilkan suatu
manfaat. Dengan konsep sharing of risk
jadi tidak ada pihak yang dirugikan di asuransi ini.
